Pengadilan Agama di luar Jawa Madura dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang kemudian untuk wilayah Sumatera ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 58 Tahun 1957 tanggal 13 November 1957. Dengan Penetapan Menteri Agama ini dibentuklah 20 pengadilan agama untuk wilayah Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Pengadilan tingkat bandingnya berkedudukan di Bukittinggi. Pada tanggal 1 Agustus 1958 Pengadilan Agama Mahkamah Syar'iyah Propinsi (PAMAP) yang pada mulanya berkedudukan di Bukittinggi dipindahkan ke Padang. Tanggal 1 Agustus tersebutlah yang dianggap sebagai hari jadi PTA Padang.
Pada waktu berdirinya PAMAP di Bukittinggi, Sumatera Barat berperang melawan Pemerintah Pusat, yang dikenal dengan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dampak dari peperangan tentulah kekacauan, situasi tidak menentu, pemerintahan dalam segala tingkatan termasuk pengadilan berjalan kurang efektif. Oleh karena itu tidak ditemukan dokumen, apakah pada masa-masa tersebut sudah ada perkara banding atau belum. Yang jelas ketua pertamanya dijabat oleh Buya H. Mansur Dt. Nagari Basa, kemudian secara berturut-turut dijabat oleh H. Lukman Rajo Mansur dan Drs. H. Rustam Ibrahim. Di zaman kepemimpinan Drs. H. Rustam Ibrahim lah nomenklatur PAMAP diganti menjadi Pengadilan Tinggi Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 yang mengatur penyatuan nomenklatur pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama untuk seluruh wilayah NKRI.
Pembentukan PTA Padang ternyata tidak diikuti dengan pembangunan kantor, oleh karena itu pengadilan menyewa rumah rakyat, padahal wilayah hukumnya meliputi tiga propinsi, yakni Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Hakimnya pun adalah hakim honorer (tidak diangkat pemerintah), kecuali Ketua. Untuk pertama kali PTA Padang berkantor di lingkungan komplek mesjid Nurul Iman Padang. Seiring dengan bertambahnya kewenangan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kantor tersebut dirasa tidak memadai lagi. Pemerintah akhirnya membangun kantor yang lebih luas, berlantai dua dan dipersiapkan untuk berlantai tiga yang berlokasi di Jalan Gajah Mada No. 53 Padang. Setelah pindah ke gedung baru kira-kira tahun 1981, kantor lama dimanfaatkan oleh MUI Propinsi Sumatera Barat.
PTA Padang Pasca UU Nomor 1 Tahun 1974
Kemajuan PTA Padang mulai terasa semenjak diundangkannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan undang-undang a-quo untuk pertama kali PA/PTA diakui sebagai pengadilan negara. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa PA merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Penegasan tersebut merupakan awal dan cikal bakal bagi perkembangan PA/PTA.
Dalam perkembangan selanjutnya, UU No.1/1974 tentang Perkawinan menambah kewenangan yang cukup signifikan buat peradilan agama. Konsekuensinya pemerintah memperkuat sumber daya manusia peradilan agama dengan pengangkatan pegawai dan hakim dari alumni syariah. Era hakim honorer mulai dikurangi, dan di medio delapan puluhan hakim honorer tidak dipakai lagi, diganti dengan hakim yang diangkat pemerintah dari alumni Syari’ah. Kondisi nasional tersebut juga berlaku buat PTA Padang karena banyaknya pengangkatan pegawai baru, sarana dan prasarana pun mulai dibenahi.
Seperti halnya putusan peradilan agama di nusantara ini, putusan PTA Padang juga tidak bisa dieksekusi sendiri oleh PA. Di samping membutuhkan ecexutoir verklaring dari PN berdasarkan PP 45/1957, UU No.1/1974 mengharuskan setiap putusan PA dikukuhkan oleh PN. Ketentuan-ketentuan tersebut menjadikan peradilan agama belum menjadi peradilan yang mandiri sehingga berstatus sebagai quasi peradilan (peradilan semu). Walau demikian, kondisi tersebut tidak menyurutkan semangat dan minat warga PTA Padang untuk maju. Pada era delapan puluhan ini banyak pegawai dan hakim PTA yang kuliah lagi untuk mengambil ilmu hukum. Masyarakat luas mulai mengenal PTA Padang karena UU No.1/1974 mengharuskan talak dan poligami melalui campur tangan pengadilan, suatu ketentuan yang selama ini tidak dikenal dalam fiqih konvensional.
Konsekuensi dari pemekaran wilayah, PTA Padang harus melepas yurisdiksinya di Prop. Riau pada tanggal 5 Nofember 1987. Serah terima wilayah dilakukan oleh ketua PTA Padang Drs. Mahfuz Arhasy dengan ketua PTA Pekanbaru Drs. H. Zainal Arifin Syam yang bertempat di kantor Gubernur Propinsi Riau. Setelah melepas yurisdiksinya di Propinsi Riau, PTA Padang harus lagi kehilangan yurisdiksinya di Propinsi Jambi pada Maret 1993. Serah terima wilayah dilakukan oleh ketua PTA Padang Drs. Tgk. H. Wahab Muridillah dengan ketua PTA Jambi Drs. H. Abd Rozak, S.H. yang bertempat di kantor DPRD Tk I Jambi. Dengan melepas dua wilayah hukum tersebut, maka kompetensi relatif PTA Padang hanya tinggal Propinsi Sumatera Barat. Nomenklatur PTA Padang mengacu ke kota tempat kedudukannya, karena dulunya mewilayahi tiga propinsi. Sekarang dengan tinggal satu propinsi, seyogyanya nomenklatur tersebut diubah menjadi PTA Sumatera Barat. Nomenklatur yang berlaku sekarang ini sering membingungkan masyarakat awam karena rancu antara PTA Padang dan PA Padang.
Sampai tahun 1977 pengadilan tingkat banding merupakan pengadilan tertinggi bagi peradilan agama. Keadaan tersebut kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena belum ada akses untuk diajukannya kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding. Dalam upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat dan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1977 tanggal 26 November 1977 yang membuka peluang diajukannya kasasi oleh pihak yang tidak puas dengan putusan tingkat banding. PERMA tersebut diiringi oleh Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 4 Tahun 1977 tentang jalannnya pengadilan kasasi dalam perkara perdata dan pidana oleh Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Terbukanya peluang kasasi dari peradilan agama berdampak positif terhadap eksistensi peradilan agama, tidak terkecuali PTA Padang. Masyarakat sadar bahwa PTA Padang adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di bawah MA.
PTA Padang Pasca UU No.7/1989
Diundangkannya UU No.7/1989, merupakan nikmat tak terhingga yang diterima peradilan agama termasuk PTA Padang. Betapa tidak, undang-undang a-quo adalah perundang-undangan yang paling fenomenal dalam mengangkat eksistensi dan wibawa peradilan agama. Ia mengatur kedudukan, kewenangan dan hukum acara secara eksplisit. Hakim peradilan agama tidak lagi diangkat oleh Menteri Agama tetapi oleh Presiden selaku kepala negara. Di samping itu Pengadilan Agama diberi kewenangan mengeksekusi putusannya. Lembaga fiat eksekusi dan pengukuhan tinggal menjadi catatan sejarah. Penantian panjang umat Islam agar perkara waris dikembalikan ke peradilan agama, menjadi kenyataan. Tuntutan pembagian harta bersama dapat digabung dengan perkara perceraian baik dalam bentuk kumulasi objektif maupun dalam bentuk gugatan rekonpensi, dapat juga diajukan tersendiri sesudah putusan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian peradilan agama telah menjadi peradilan yang mandiri. Hanya saja UU Nomor 7 Tahun 1989 masih menyisakan persoalan yakni masalah hak opsi dalam perkara kewarisan serta sengketa milik dalam perkara yang menjadi kewenangan PA.
Era sembilan puluhan juga ditandai dengan mengkristalnya tuntutan satu atap (one roof system) badan peradilan di bawah MA. Ide tersebut mendapat justifikasi dengan diundangkannya UU No.35/1999 tentang Perubahan UU No.14/1970. Untuk peradilan agama terealisir pada tanggal 30 Juni 2004 dengan terbitnya Keppres No.21/2004 tanggal 23 Maret 2004 yang mengatur pengalihan peradilan agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Setelah satu atap di bawah MA, anggaran PTA Padang mulai meningkat, dapat memperluas bangunan kantor dengan membangun gedung tiga tingkat yang ditempatkan di sisi kanan bangunan lama. Kendaraan dinas bertambah, sarana dan prasarana mulai diremajakan.
Dengan terealisirnya ide satu atap, maka UU No.7/1989 tidak lagi relevan dengan perkembangan yang ada, untuk itu perlu dilakukan penyesuaian seperlunya. Kebutuhan hukum tersebut terpenuhi dengan diundangkannya UU No.3/2006 pada tanggal 20 Maret 2006. Undang-undang ini menghapus hak opsi dalam perkara waris dan menambah kewenangan PA yakni perkara ekonomi syari’ah.
Di tengah kemajuan tersebut musibah datang menimpa. Pada tanggal 30 September 2009 Sumatera Barat dihantam gempa besar. Gedung-gedung roboh, hancur dan ditelan bumi. Nyawa melayang tak terhingga. Gedung PTA Padang termasuk bagian dari gedung yang hancur dan rusak berat, sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi. Dua buah kendaran dinas, sebagian meubiler dan buku-buku di perpustakaan rusak berat. Lebih kurang dua bulan pegawai berkantor di bawah tenda. Setelah dapat menghimpun dana, barulah menyewa gedung eks bandara Tabing Padang . Namun demikian warga PTA Padang masih bersyukur karena tidak ada korban jiwa. Pegawai selamat karena gempa terjadi pada sore hari di saat pegawai sudah pulang, sementara beberapa pegawai yang belum pulang dan penjaga kantor dapat menyelamatkan diri.
SEBELUM TAHUN 1958
Embrio Pengadilan Agama di Sumatera Barat telah lahir bersamaan dengan lahirnya kebutuhan masyarakat terhadap keadilan yang menyangkut hukum agama karena masyarakat Sumatera Barat tergolong masyarakat yang agamis.
Secara prolog, ruh dari Pengadilan Agama itu meskipun belum melembaga, namun ulama yang dianggap sebagai lampu dan lentera kehidupan dijadikan panutan dan tempat ber-tanya masyarakat, maka hal itu dapat diartikan sebagai kebutuhan dan bahagian dari kepentingan masyarakat luas terhadap suatu pengadilan.
Dengan berjalannya waktu, kebutuhan terhadap suatu pengadilan terasa semakin urgen guna menyelesaikan sengketa perdata agama yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Atas inisiatif dan prakarsa ulama yang cukup disegani di Sumatera Barat waktu itu, yaitu Syekh H. Sulaiman Arrasuli (Pimpinan Tarbiyah Islamiyah Candung) bersama-sama dengan Syekh H. Ibrahim Musa Parabek (Pimpinan Sumatera Thawalib dan Kulliyatut Diyanah Parabek) dibentuklah Mahkamah Syar’iyah Provinsi oleh Kepala Daerah yang berkuasa saat itu bersamaan dengan dibentuknya peradilan adat dan peradilan swapraja yang berkedudukan di Bukittinggi sebagai ibukota Sumatera Tengah dan dipimpin oleh Syekh H. Sulaiman Arrasuli sebagai Ketua dan Syekh H. Ibrahim Musa Parabek sebagai Hakim Anggota. Pembentukan Mah-kamah Syar’iyah Provinsi tersebut didasarkan pada kebutuhan masya-rakat Islam saat itu dan bersifat lokal, tidak ada hubungannya dengan pemerintah pusat dan wilayah hukumnya meliputi wilayah Sumatera Tengah yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Adapun kewenangan absolut dari Mahkamah Syar’iyah Provinsi tersebut hanya menangani pemeriksaan perkara fasakh nikah pada tingkat banding sedangkan perkara-perkara kebendaan termasuk dalam bidang perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam pada saat itu ditangani oleh pengadilan adat dan/atau pengadilan swa-praja.
Meskipun pada tingkat banding telah dibentuk Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Bukittinggi tetapi untuk tingkat pertama tidak ada dibentuk Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah karena kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara fasakh nikah ter-sebut cukup ditangani kepenghuluan pada Kantor Urusan Agama Kabupaten/Kota. Para Pihak yang tidak puas ter-hadap putusan fasakh nikah dari Kepenghuluan tersebut dapat menga-jukan banding kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Bukittinggi.
Keberadaan/eksistensi Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Bukittinggi tersebut sangat dihargai masyarakat Islam dan putusannya di-patuhi oleh para pencari keadilan karena di pimpin oleh ulama yang sangat mereka hargai.
SETELAH TAHUN 1958
Sesuai dengan perkembangan waktu dan kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak, Pemerintah Republik Indonesia berpendapat perlu membentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa-Madura dan karenanya dipandang perlu dengan segera menge-luarkan suatu peraturan yang memberi kedudukan hukum, hak ke-kuasaan dan daerah hukum dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sehingga diterbitkanlah Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 pada tanggal 9 Oktober 1957.
Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tanggal 9 Oktober 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa-Madura tersebut, maka terbukalah babak baru bagi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa-Madura karena dalam Pasal 1 dan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerin-tah tersebut telah memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk membentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Luar Jawa-Madura yang kebe-radaannya memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam.
Menindak lanjuti Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 ter-sebut, maka Menteri Agama mengeluarkan Penetapan Menteri Agama No. 58 tahun 1957 untuk membentuk empat Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Sumatera, yaitu Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi (PAMAP) di Kutaraja (Banda Aceh sekarang), Medan, Bukittinggi dan Palembang. Yurisdiksi dari PAMAP Bukittinggi adalah Sumatera Tengah yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Belum sempat beroperasional, PAMAP Bukittinggi berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 32 tahun 1958 tanggal 17 September 1958 dipindah ke Padang terhitung mulai tanggal 1 Agustus 1958 sehubungan dengan dipindahnya ibukota provinsi dari Bukittinggi ke Padang sehingga dengan demikian PAMAP Padang yang akhirnya ber-ubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Padang secara resmi mulai beroperasi terhitung sejak tanggal 1 Agustus 1958.
Ketua PAMAP Padang yang pertama dijabat oleh Buya H. Manshur Dt. Nagari Basa yang diangkat oleh Pemerintah Pusat (Menteri Agama) atas usul Kepala Daerah dan selanjutnya Ketua PAMAP tersebut meng-usulkan pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (PAMASYA) di kabupaten/kota dalam wilayah hukumnya yang meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi kepada Menteri Agama berikut usul pengangkatan personilnya.
Pada tahap pertama di Sumatera Barat dibentuk 16 PAMASYA yaitu Pengadilan Agama yang ada saat ini kecuali PA Lubuk Basung yang pembentukkannya baru menyusul setelah ibukota Kabupaten Agam pindah dari Bukittinggi ke Lubuk Basung. Adapun ke 16 (enam belas) PAMASYA tersebut adalah PAMASYA Padang, Bukittinggi, Paria-man, Batusangkar, Padang Panjang, Solok, Payakumbuh, Suliki (Kabupa-ten Lima Puluh Kota sekarang), Lubuk Sikaping, Talu, Sawahlunto, Sijunjung, Painan, Alahan Panjang (Sekarang PA Kotobaru), Muara Labuh, dan Maninjau.
Sedangkan untuk Riau ada 9 (sembilan) PAMASYA, yaitu PAMASYA Pekanbaru, Rengat, Bangkinang, Tembilahan, Pasir Pengarayan, Bengkalis, Selat Panjang, Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun. Untuk Jambi ada 5 (lima) PAMASYA, yaitu PAMASYA Jambi, Muara-bungo, Sungai Penuh, Kuala Tungkal dan Bangko.
Pada tahun 1960 berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 32 tahun 1960 tanggal 20 Mei 1960 terhitung 1 Juli 1960 dibentuk Kantor Pengawasan Peradilan Agama Padang dengan yurisdiksi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Buya H. Manshur Dt. Nagari Basa yang sebelum-nya sebagai Ketua PAMAP Padang diangkat sebagai Kepala Kantor Pengawas Peradilan Agama yang baru dibentuk tersebut dan untuk mengisi formasi Ketua PAMAP yang beliau tinggalkan diangkat H. M. Dalil Syarif Dt. Maninjun.
Dengan dibentuknya Kantor Pengawas Peradilan Agama tersebut yang bertugas mengurus dan mengawasi hal-hal yang menjadi tugas administratif dari Kantor Pusat Jawatan Peradilan Agama serta mem-bantu jalannya Peradilan Agama dalam daerah yurisdiksinya maka PAMAP hanya berwenang menangani masalah teknis peradilan/ per-kara saja dan tidak lagi berwenang atas pengawasan dan tugas admi-nistratif. Keadaan seperti ini terus berjalan sampai akhir tahun 1975 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama No. 18 tahun 1975 yang isinya antara lain menghapus keberadaan Kantor Pengawas Peradilan Agama dan tugasnya dikembalikan menjadi kewenangan PAMAP. Dengan dihapusnya Kantor Pengawas Peradilan Agama ter-sebut, maka Buya H. Manshur Dt. Nagari Basa selaku Kepala Kantor Pengawas Peradilan Agama tersebut dimutasi menjadi Dekan Fakultas Syari’ah Bukittinggi.
Sehubungan dengan pensiunnya H. M. Dalil Syarif Dt. Maninjun sebagai Ketua PAMAP pada akhir tahun 1975, maka diangkat H. Djalil Malin Mudo sebagai Pelaksana Tugas Ketua PAMAP dan selanjutnya pada awal tahun 1976 diangkat H. Lukman Rajo Manshur sebagai Ketua PAMAP definitif dan H. Djalil Malin Mudo ditetapkan sebagai Wakil Ketua PAMAP. Pada bulan Agustus 1977 diangkat H. Rustam Ibrahim sebagai Ketua PAMAP dan H. Lukman Rajo Manshur diturunkan menjadi Hakim Anggota sedangkan H. Djalil Malin Mudo tetap sebagai Wakil Ketua PAMAP.
Pada awal tahun 1980 terjadi penyeragaman penyebutan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 yang dalam diktum pertamanya menyatakan bahwa penyebutan Pengadilan Agama dipakai untuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, Kerapatan Kadi di Kalimantan Selatan dan Penga-dilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah lainnya, sedangkan penye-butan Pengadilan Tinggi Agama dipakai untuk Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Kadi Besar dan Pengadilan Agama Provinsi. Dengan demikian maka penyebutan PAMAP Padang sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tersebut berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Padang dan hingga saat ini telah dipimpin oleh 20 (dua puluh) orang ketua sebagai berikut:
- M. Mansur Dt. Nagari Basa (1958 – 1960)
- Mhd. Dalil Syarif Dt. Maninjun (1960 – 1975)
- H. Djalil Malin Mudo (Plt. Ketua) (1975 – 1976)
- H. Lukman Rajo Mansur (1976 – 1977)
- Drs. Rustam Ibrahim (1977 – 1985)
- Drs. Roihan A. Rasyid, S.H. (1985 – 1986)
- Drs. Zainal Arifin Syam (1986 – 1987)
- Drs. H. Mahfud Arhasy (1988 – 1993)
- Drs. H. Tgk. Wahab Muridillah (1993 – 1995)
- Drs. H. Rusdi Nurud, S.H. (1995 – 1996)
- Drs. H. Baharuddin (Plt. Ketua) (1996 - 1997)
- Drs. Abdul Rozak, S.H. (1997 – 1999)
- Drs. H. Ahmad Kamil, S.H., M.H. (1999 – 2001)
- Drs. H. Matardie E, S.H., M.HI. (2001 – 2005)
- Drs. H. Mahyiddin Usman, S.H, M.A. (2005 – 2010)
- Drs. H. Moh. Thahir, S.H., M.H. (2010 – 2014)
- Dr. H. Idris Mahmudy, S.H., M.H. (2014 - 2016)
- Drs. H. Hasan Basri Harahap, S.H., M.H. (2016-2018)
- Drs. H. Zein Ahsan, M.H. ( 2018 - 2022)
- Dr. Drs. H. Pelmizar, M.H.I. (2022 - 2023)
- Dr. H. Abd. Hamid Pulungan, S.H., M.H. (2023 - sekarang)